MAZHAB NASIONAL INDONESIA HAZAIRIN
Muhammad Indrayani
NIM: 128509203013
Biografi
Hazairin adalah salah seorang tokoh yang begitu gigih berada di garda terdepan, menyuarakan dan mengubah hukum Islam agar bisa diterima dan diaplikasikan di bumi Nusantara. Nama lengkapnya adalah Hazairin. Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada hari Rabu, 11 Syawal 1324 H / 28 November 1906 M. Ahli hukum Islam sekaligus ahli hukum adat Indonesia pertama dari kalangan putra Indonesia, seorang nasionalis dan intelektual muslim Indonesia berpendidikan Barat (Belanda). Hazairin adalah keturunan Persia. Bapaknya bernama Zakaria Bahari, seorang guru Sekolah Rakyat (SR) yang berasal dari Bengkulu, sedangkan ibunya bernama Rasida berdarah Minang. Kakeknya bernama Ahmad Bakar, seorang ulama dan mubaligh yang terkenal asal Bengkulu .
Dari perkawinan orang tua Hazairin terdapat satu hal yang pasti, kedua masyarakat tersebut (Bengkulu dan Minangkabau) adalah masyarakat yang fanatik terhadap Islam. Islam merupakan agama yang senantiasa dipegang teguh sebagai sebuah keyakinan yang mendarah daging. Dari keluarga yang lahir Hazairin sebagai gambaran dari bentuk penyatuan dua budaya satu akidah.
Hazairin adalah putra semata wayang ditengah-tengah kehidupan keluarga orang tua. Sebagai putra satu-satunya, tentunya Hazairin sangat disayang dan dimanja. Meskipun demikian, dia tetap digembleng sedemikian rupa. Ayah dan kakeknya merupakan guru langsung baginya, demikian pula peranan ibuya sangat dominan dalam membentuk watak dan karakter dirinya. Watak agamis Hazairin terbentuk bukan hanya dari teori, tetapi keluarga Hazairin dalam kehidupan sehari-hari mampu merealisasikan ajaran Islam, sehingga menjadikan Hazairin sebagai orang yang tidak dapat dipisahkan dari Islam itu sendiri.
Hazairin adalah suami dari Aminah. Aminah adalah gadis yang masih punya hubungan darah dengan Hazairin, yaitu anak A. Gafur. Sedangkan ibunya adalah Rasida adalah wanita asal Minangkabau, anak dari Mukmin. Dari perkawinannya dengan Aminah itu, mereka memperoleh 13 orang anak, yaitu Asmara Dewi, Nurlela Cindarwati, Abdul Hakim, Saladin, Chaerati, Chaerani, Zulkarnain, Hermaini, Zulkifli (Alm.), Zulfikat Puspa Juwita, Zainul Harmain dan Soraya Farida.
Secara formal, ia menuntut ilmu di lembaga-lembaga pendidikan Hindia Belanda. Pendidikan formal, diantaranya:
1. HIS (Hollands Inlandsche School) di Bengkulu, tamat pada tahun 1920;
2. MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Padang, tamat pada tahun 1924;
3. AMS (Algemene Middlebare School) di Bandung tamat pada tahun 1927.
4. RSH (Rechtskundige Hogeschool) atau Sekolah Tinggi Hukum jurusan hukum adat di Batavia (Jakarta).
Selama delapan tahun Hazairin bekerja keras mendalami bidang Hukum Adat, berkat kegigihannya, Hazairin berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (Mr) pada tahun 1935. Hazairin bukanlah tipe orang yang mudah puas. Sarjana hukum yang diperolehnya belum cukup, ia ingin meraih gelar yang lebih tinggi lagi. Begitu ada tawaran untuk melakukan penelitian mengenai adat Redjang (salah satu suku yang terdapat di Karesidenan Bengkulu, sekarang propinsi Bengkulu), Hazairin atas bimbingan Betrand Ter Haar seorang pakar hukum adat yang terkenal di masa itu, melakukan penelitian sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Hukum.
Dengan kesabaran dan keuletan, akhirnya Hazairin dalam waktu yang cukup singkat yaitu tiga bulan berhasil menyelesaikan penelitiannya tentang masyarakat Redjang dan menjadi disertasi Doktornya yang diberi judul De Redjang (mengenai adat-istiadat Rejang di Bengkulu). Lulus dan meraih gelar doktor dalam bidang hukum adat pada 29 Mei 1936 setelah mempertahankan disertasinya. Karya inilah yang menghantarkannya sebagai satu-satunya pakar Doktor Pribumi lulusan Sekolah Tinggi Hukum Batavia. Jenjang pendidikan dengan spesialis Hukum Adat telah membuka cakrawala pemahaman Hazairin terhadap berbagai bentuk sistem kekeluargaan yang sangat mempengaruhi pola pemikiran masing-masing adat yang ada.
Fiqih Indinesia menurut Hazairin
Masalah besar yang dihadapi umat Islam di Indonesia adalah bagaimana membentuk satu pemikiran hukum Islam yang sesuai dengan tradisi (adat) yang ada di wilayah ini. Pandangan seperti ini merupakan proses awal dari keseluruhan cita-cita untuk menjadikan hukum Islam sebagai bagian integral dari sistem hukum Nasional. Kenyataan bahwa selama ini umat Islam hanya mengikuti jalur pemikiran fiqh madzhab Syafi'i ternyata memberikan pengaruh terhadap karakter pembaruan dan nasib pemikiran hukum Islam di Indonusia. Dibandingkan dengan negara-negara lain yang tidak pernah dijajah oleh Belanda, Indonesia termasuk negara yang kurang beruntung. Hal ini dapat dimengerti dengan tidak adanya perhatian pemerintah kolonial secara cukup proporsional dalam proses pembenahan dan pengembangan hukum Islam, terutama dalam konteks legislasi hukum Islam yang diciptakan dapat dipakai sebagai acuan perundang-ndangan di lingkungan Peradilan Agama. Oleh karena itu, wajar kiranya jika hingga 1960an, kitab-kitab hukum fiqh yang dibuat oleh para mujtahid pada abad pertengahan, masih menjadi acuan utama dalam proses pengambilan keputusan di lingkungan Peradilan Agama .
Fenomena ini sangat memprihatinkan sebab karakter pemikiran dalam kitab fiqh klasik itu secara umum sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan umat Islam di Indonesia. Pergumulan para mujtahid dengan konteks sosial politik Timur Tengah, sangat mempengaruhi hasil ijtihad yang mereka lakukan sehingga tidak cocok dipaksa untuk dilaksanakan di Indonesia. Dengan demikian, permasalahan-permasalahan fiqh, terutama dalam bidang rnu'malah membutuhkan rumusan baru agar lebih relevan dengan situasi dan kondisi serta adat dan budaya Indonesia.
Penyusunan sejarah sosial pemikiran hukum Islam di atas telah mendorong Hazairin untuk membentuk Fiqh Madzhab Nasional Indonesia. Dalam konteks pembicaraan bahwa permasalahan yang dihadapi umat Islam Indonesia adalah masalah hukum, dan bahwa karakteristik hukum Islam berbeda dengan unsur keimanan dan keislaman lainnya maka menurut Hazairin eksistensi hukum Islam dapat dikatakan sedang mencari-cari tempat di dalam masyarakat. Dari titik berangkat ini ide Fiqh Madzhab Nasional Indonesia menuai signifikansinya. Dalam amatan Hazairin, bentangan perjalanan sejarah hukum Islam yang mewartakan bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka bagi para mujtahid, cukup bisa dijadikan alasan dan pertimbangan akan perlunya tentang konstruksi madzhab baru yang lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia. Menurutnya, madzhab hukum Syafi'i harus dikembangkan sehingga mampu menjadi penghubung bagi resolusi problem - problem spesifik masyarakat Indonesia.
Munculnya ide akan fiqh mazhab Nasional tersebut, di antaranya dilatarbelakangi adanya fenomena saat itu oleh Belanda untuk mengeliminasi perkembangan legislasi dan legislasi hukum di Indonesia. Melalui ide yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrech dengan tokoh intelektualnya van Vollenhoven (1874 - 1933) dan Snouck Hurgronje (1857 - 1936), yang kemudian dikenal sebagai Delrgat teori receptive . Kemudian pemerintah melakukan upaya penyempitan terhadap keberlakuan hukum Islam.
Diantara pemikirannya yang paling terkenal adalah mengkritik teori receptie yang dikembangkan oleh ahli hukum Belanda sekaligus gurunya, di antaranya Betrand ter Haar, Cristian Snouck Hurgronje, Lodewijk William van den Berg dan van Vollenhoven. Menurut teori receptie, hukum Islam yang tersedia di Indonesia hanyalah hukum Islam yang sudah diterima sebagai hukum adat. Teori ini cukup banyak pengaruhnya di kalangan sarjana hukum Indonesia, termasuk sarjana hukum muslim. Hazairin memperingatkan mereka dengan mengatakan bahwa teori receptie adalah teori iblis, yaitu teori yang memusuhi berlakunya hukum Tuhan di Indonesia. Teori ini memang dimaksudkan untuk membatasi bahkan jika mungkin melenyapkan berlakunya hukum Islam dari Indonesia.
Bagi Hazairin, hukum Islam harus diberlakukan bagi orang Islam, baik sudah menjadi hukum adat atau belum. Namun sebagai counter theory terhadap teori ini, hazairin menggagas teori receptie exit. Teori ini menyatakan bahwa teori receptie harus exit (keluar) dari teori hukum Islam di Indonesia, karena bertentangan dengan UUD 1945 serta al-Qur'an dan hadits. Melalui teori ini Hazairin berusaha membuktikan bahwa adat (antropologi) tidak selalu bertentangan dengan Islam. Hazairin menyarankan agar umat Islam memakai hukum Islam sebagai hukum yang ditaati guna menata kehidupan sehari-hari. Dan selanjutnya peradilan Islam dimungkinkan untuk berdiri dan integral dengan peradilan negara, yang dalam hal ini berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung.
Pada tahun 1973, sebelum lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, ia menyerukan agar seluruh Indonesia hanya ada satu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah di bidang hukum keluarga Islam. Pemikirannya baru terealisasi setelah disahkannya UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan disepakatinya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Relevansi pemikirannya dapat dilihat dari kandungan UU No.7 Tahun 1989, yaitu membuat wewenang Pengadilan Agama seragam di Seluruh Indonesia , mensejajarkan Seluruh Pengadilan Agama dalam satu sistem kesatuan, Semuanya mempunyai wewenang yang sama atas perkara perkawinan, kewarisan dan wakaf , dan menghapus perlunya pengukuhan Pengadilan Negeri atas putusan yang dihasilkan Pengadilan Agama.
Menurut Hazairin, dengan mempertimbangkan pasal 29 ayat 1 UUD 1945, maka sebenarnya tidak perlu lagi terjadi pertentangan sistem antara hukum adat, hukum positif, dan hukum agama. Begitu juga tidak boleh lagi ada satu ketentuan dan hukum baru yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan juga hukum agama yang lain, dan begitu pula sebaliknya. Negara wajib mengayomi setiap orang untuk menjalankan ajaran agama yang diyakininya. Selain itu, negara juga wajib membantu dan mengontrol sistem hukum Islam, terutama aspek mu'amalahnya, yang membutuhkan bantuan negara dalam implementasinya .
Ijtihad hukum yang dilakukan Hazairin adalah dalam medan hukum kewarisan. Menurutnya, konsep hukum kewarisan Islam yang selama ini berjalan dengan menganut sistem patrilineal (menarik garis keturunan hanya dari arah laki-laki saja) itu sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya Timur Tengah (Arab) yang juga demikian. Hukum kewarisan dalam Al-Qur'an, bagi Hazairin, esensinya menganut sistem bilateral, yakni menarik harta dari pihak ayah dan ibu. Implikasi lebih jauh yang ditimbulkan oleh gagasan Hazairin ini menjangkau permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1. Istilah 'ashabah berasal dari adat masyarakat Arab, dan karena itu tidak seharusnya dipertahankan;
2. Kedudukan keturunan melalui anak perempuan, dan seterusnya ke bawah, sama kuatnya dengan keturunan dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah;
3. Memasukkan ahli waris karena pergantian ke dalam sistem kewarisan Islam, dengan menggunakan surat an-Nisa 'ayat 33 sebagai landasannya;
4. Memperkenalkan pengelompokkan baru untuk ahli waris, yaitu dzawi al-furudh, dzawi al-qarabah, dan mawali, sebagai ganti dari dzawi al-furudh, 'ashabah, dan dzawi al-arham;
5. Ke dalam pengertian kalalah (mati punah) diikutsertakan orang yang hanya mati punah ke bawah (tidak meninggalkan keturunan). Hal yang berbeda dengan fiqh Sunni, yang mengartikan kalalah sebagai orang yang mati tidak meninggalkan keturunan laki-laki dan ayah .
Pandangan-pandangan di atas mengandaikan bahwa masing-masing cucu akan mengambil hak ayah dan ibunya yang telah meninggal. Dalam kasus pertama, harta warisan setelah dikeluarkan untuk dzawi al-furudh, kemudian dibagi menjadi empat bagian: satu bagian untuk anak perempuan, satu bagian untuk cucu laki-laki sebagai wakil dari ibunya, dan dua bagian untuk cucu perempuan sebagai pengganti dari ayahnya. Dalam kasus kedua, dengan proses yang sama, cucu melalui anak laki-laki memperoleh 2/3, cucu melalui anak perempuan mendapat 1/5, dan anak-anak perempuan kandung masing-masing mendapat 1/5 bagian .
Dalam bingkai pemikiran Hazairin, pandangan-pandangan di atas merupakan hal baru yang muncul sebagai hasil renungan dan pemikiran atas masyarakat Indonesia. Temuan-temuan demikian niscaya hadir dengan seiring lahirnya intensitas keilmuan pendukung, yaitu antropologi yang dapat dijadikan jangkar untuk menjangkau penelitian bentuk-bentuk kemasyarakatan dan berubah dengan sistem kewarisan dengan cukup kohesif. Dari titik inilah kemudian dilakukan upaya penafsiran ulang terhadap doktrin hukum kewarisan, agar lebih selaras dengan kemajuan ilmu dan keadaan masyarakat di Indonesia. Dengan ijtihad model baru ini, akan ditemukan format hukum fiqh yang lebih praktis
bagi masyarakat muslim di Indonesia, sehingga tidak ada istilah muslihat
hukum lagi dalam dataran praktis.
REFERENSI
Toha Ma'arif, Fiqh Indonesia Menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin dan Munawir Syadzali, Jurnal Pengembangan Masyarakat, Vol.8, No.2, Agustus 2015
Wahidah, Pemikiran Hukum Hazairin, Jurnal Hukum Dan Pemikiran, Vol. 15, No.1, Juni 2015